Kabupaten Luwu
INGAT peristiwa Padang Sappa di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan?
Kasus ini pernah ramai dibicarakan di media massa lokal dan nasional.
Peristiwa yang terjadi akhir Agustus 2001 itu sempat memakan korban
beberapa orang meninggal dan puluhan rumah penduduk rusak berat. Salah
satu faktor pemicunya adalah masalah kekayaan alam. Sejak dahulu
kekayaan alam inilah yang sering membuat masalah. Luwu yang berarti
tanah karunia Tuhan yang kaya, memang menjadi incaran bangsa lain.
Kekayaan alam yang berlimpah seperti rempah-rempah, membuat Belanda
ingin menguasai daerah ini. Sejak kedatangan Belanda pada tahun 1906
itulah ketenteraman dan kesejahteraan Kerajaan Luwu mulai terusik.
Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu dengan politik
andalannya, divide et impera.
Sejak kepergian penjajah dari bumi Luwu ini, rempah-rempah terutama
cengkeh masih menjadi primadona. Kondisi geografis dan jenis tanah di
Kabupaten Luwu memang cocok untuk tanaman cengkeh, sehingga petani
tetap memelihara tanaman tersebut walaupun harganya tidak stabil.
Harga cengkeh sempat mengalami penurunan di era tahun 1990-an akibat
penerapan tata niaga cengkeh. Kesabaran sekitar 13.000 petani cengkeh
atau 20 persen dari petani cengkeh se-Sulawesi Selatan ini ternyata
membuahkan hasil. Sekarang petani cengkeh dapat meraup untung. Dari
bunga keringnya saja, mereka mampu memperoleh hasil kotor sekitar Rp
70.000 per kilogram. Padahal, sekitar tahun 1997 harga per kilogramnya
hanya berkisar antara Rp 2.000-Rp 2.500.
Tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi ini ditanam merata di
seluruh kabupaten. Utamanya di Kecamatan Suli, Larompong, Larompong
Selatan, dan Tellu Wanua. Pada tahun 2000, luas lahan perkebunan
cengkeh sekitar 22.000 hektar. Hampir keseluruhan lahan cengkeh
dikelola oleh perkebunan rakyat. Selama lima tahun (1996-2000)
produksi cengkeh mengalami peningkatan sebesar 54 persen. Pada tahun
2000, Kabupaten Luwu mampu memproduksi bunga kering sekitar 4.600 ton.
Dengan produksi sebesar ini, Kabupaten Luwu menjadi penghasil cengkeh
ter-besar di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari luas areal 22.000 hektar tersebut, sebagian besar berisi tanaman
menghasilkan dan ha-nya sedikit saja merupakan tanaman tua atau
tanaman rusak. Di samping itu, diversifikasi cengkeh sampai saat ini
belum banyak dikembangkan. Daun cengkeh, misalnya, dapat disuling
untuk diambil minyaknya. Peluang untuk usaha ini cukup besar. Banyak
perusahaan farmasi membutuhkan minyak ini untuk bahan campuran
kosmetik atau obat-obatan. Sampai sekarang baru satu unit usaha yang
mengolah minyak ceng-keh. Itu pun hanya dalam skala kecil semacam
industri rumah tangga.
Selain cengkeh, kakao juga menjadi komoditas andalan di sektor
perkebunan. Penyebaran kakao pun merata di seluruh ka-bupaten terutama
di Kecamat-an Bua Ponrang, Ponrang, Belo-pa, dan Bajo. Pada tahun
2000, luas areal perkebunan kakao mencapai 24.386 hektar dengan
produksi sebesar 23.300 ton.
Usaha peremajaan tanaman kakao sudah lebih terencana dibanding
cengkeh. Pada tahun anggaran 2000, penanaman bibit kakao dilakukan di
Keca-matan Latimojong, Larompong, Bua, dan Walenrang. Upaya ini
menghabiskan Rp 74 juta dari dana yang dialokasikan untuk program
pembangunan usaha perkebunan yang seluruhnya menghabiskan Rp 200 juta.
Subsektor perkebunan menjadi roda pendorong perekonomian Kabupaten
Luwu. Dari total kegiatan perekonomian sebesar Rp 910, 8 milyar,
sektor ini mampu menyumbang Rp 257 milyar atau 28 persennya. Selama
dua tahun terakhir subsektor perkebunan menduduki peringkat tertinggi
dibanding sub-sektor yang lain.
Penyumbang kedua setelah subsektor perkebunan bagi total kegiatan
perekonomian Bumi Sawerigading tahun 2000 adalah sub-sektor perikanan.
Besarnya Rp 111,8 milyar atau 12 persen. Potensi perikanan laut
sumbangannya paling besar dari Teluk Bone. Pada tahun 2000, hasil yang
diperoleh dari laut volumenya 19.600 ton dengan nilai sebesar Rp 153
milyar.
Selain perikanan laut, perikanan air payau seperti budi daya udang dan
bandeng mulai digiatkan. Pada tahun anggaran 2000, Pemerintah
Kabupaten Luwu mengadakan pengembangan budi daya udang dan bandeng di
Kecamatan Bua dan Walenrang. Proyek ini menghabiskan dana sekitar Rp
26 juta. Selain itu, ada juga pengembangan budi daya rumput laut
(Gracillaria sp.) di Kecamatan Wara Utara, Tellu Wanua, Wa-lenrang,
dan Belopa dengan dana Rp 41 juta. Rumput laut ini dimanfaatkan untuk
industri pembuatan agar-agar. (Yuliana Rini DY/Litbang Kompas)
0 komentar:
Posting Komentar