Sabtu, 11 Februari 2012

Cengkeh Di Luwu Utara Sulawesi Selatan

  Kabupaten Luwu
   INGAT peristiwa Padang Sappa di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan?
   Kasus ini pernah ramai dibicarakan di media massa lokal dan nasional.
   Peristiwa yang terjadi akhir Agustus 2001 itu sempat memakan korban
   beberapa orang meninggal dan puluhan rumah penduduk rusak berat. Salah
   satu faktor pemicunya adalah masalah kekayaan alam. Sejak dahulu
   kekayaan alam inilah yang sering membuat masalah. Luwu yang berarti
   tanah karunia Tuhan yang kaya, memang menjadi incaran bangsa lain.
   Kekayaan alam yang berlimpah seperti rempah-rempah, membuat Belanda
   ingin menguasai daerah ini. Sejak kedatangan Belanda pada tahun 1906
   itulah ketenteraman dan kesejahteraan Kerajaan Luwu mulai terusik.
   Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu dengan politik
   andalannya, divide et impera.
   
   Sejak kepergian penjajah dari bumi Luwu ini, rempah-rempah terutama
   cengkeh masih menjadi primadona. Kondisi geografis dan jenis tanah di
   Kabupaten Luwu memang cocok untuk tanaman cengkeh, sehingga petani
   tetap memelihara tanaman tersebut walaupun harganya tidak stabil.
   Harga cengkeh sempat mengalami penurunan di era tahun 1990-an akibat
   penerapan tata niaga cengkeh. Kesabaran sekitar 13.000 petani cengkeh
   atau 20 persen dari petani cengkeh se-Sulawesi Selatan ini ternyata
   membuahkan hasil. Sekarang petani cengkeh dapat meraup untung. Dari
   bunga keringnya saja, mereka mampu memperoleh hasil kotor sekitar Rp
   70.000 per kilogram. Padahal, sekitar tahun 1997 harga per kilogramnya
   hanya berkisar antara Rp 2.000-Rp 2.500.
   
   Tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi ini ditanam merata di
   seluruh kabupaten. Utamanya di Kecamatan Suli, Larompong, Larompong
   Selatan, dan Tellu Wanua. Pada tahun 2000, luas lahan perkebunan
   cengkeh sekitar 22.000 hektar. Hampir keseluruhan lahan cengkeh
   dikelola oleh perkebunan rakyat. Selama lima tahun (1996-2000)
   produksi cengkeh mengalami peningkatan sebesar 54 persen. Pada tahun
   2000, Kabupaten Luwu mampu memproduksi bunga kering sekitar 4.600 ton.
   Dengan produksi sebesar ini, Kabupaten Luwu menjadi penghasil cengkeh
   ter-besar di Provinsi Sulawesi Selatan.
   
   Dari luas areal 22.000 hektar tersebut, sebagian besar berisi tanaman
   menghasilkan dan ha-nya sedikit saja merupakan tanaman tua atau
   tanaman rusak. Di samping itu, diversifikasi cengkeh sampai saat ini
   belum banyak dikembangkan. Daun cengkeh, misalnya, dapat disuling
   untuk diambil minyaknya. Peluang untuk usaha ini cukup besar. Banyak
   perusahaan farmasi membutuhkan minyak ini untuk bahan campuran
   kosmetik atau obat-obatan. Sampai sekarang baru satu unit usaha yang
   mengolah minyak ceng-keh. Itu pun hanya dalam skala kecil semacam
   industri rumah tangga.
   
   Selain cengkeh, kakao juga menjadi komoditas andalan di sektor
   perkebunan. Penyebaran kakao pun merata di seluruh ka-bupaten terutama
   di Kecamat-an Bua Ponrang, Ponrang, Belo-pa, dan Bajo. Pada tahun
   2000, luas areal perkebunan kakao mencapai 24.386 hektar dengan
   produksi sebesar 23.300 ton.
   
   Usaha peremajaan tanaman kakao sudah lebih terencana dibanding
   cengkeh. Pada tahun anggaran 2000, penanaman bibit kakao dilakukan di
   Keca-matan Latimojong, Larompong, Bua, dan Walenrang. Upaya ini
   menghabiskan Rp 74 juta dari dana yang dialokasikan untuk program
   pembangunan usaha perkebunan yang seluruhnya menghabiskan Rp 200 juta.
   
   Subsektor perkebunan menjadi roda pendorong perekonomian Kabupaten
   Luwu. Dari total kegiatan perekonomian sebesar Rp 910, 8 milyar,
   sektor ini mampu menyumbang Rp 257 milyar atau 28 persennya. Selama
   dua tahun terakhir subsektor perkebunan menduduki peringkat tertinggi
   dibanding sub-sektor yang lain.
   
   Penyumbang kedua setelah subsektor perkebunan bagi total kegiatan
   perekonomian Bumi Sawerigading tahun 2000 adalah sub-sektor perikanan.
   Besarnya Rp 111,8 milyar atau 12 persen. Potensi perikanan laut
   sumbangannya paling besar dari Teluk Bone. Pada tahun 2000, hasil yang
   diperoleh dari laut volumenya 19.600 ton dengan nilai sebesar Rp 153
   milyar.
   
   Selain perikanan laut, perikanan air payau seperti budi daya udang dan
   bandeng mulai digiatkan. Pada tahun anggaran 2000, Pemerintah
   Kabupaten Luwu mengadakan pengembangan budi daya udang dan bandeng di
   Kecamatan Bua dan Walenrang. Proyek ini menghabiskan dana sekitar Rp
   26 juta. Selain itu, ada juga pengembangan budi daya rumput laut
   (Gracillaria sp.) di Kecamatan Wara Utara, Tellu Wanua, Wa-lenrang,
   dan Belopa dengan dana Rp 41 juta. Rumput laut ini dimanfaatkan untuk
   industri pembuatan agar-agar. (Yuliana Rini DY/Litbang Kompas)


0 komentar:

Posting Komentar